Air Mata
Sang Juara
By: Annisa Alifka Baztari
Di pagi yang cerah. Elena
Prasetia atau biasa dipanggil dengan nama Lena, sedang duduk di teras rumahnya.
Ia nampaknya memikirkan sesuatu.
“Kenapa yach ada yang gak enak pagi ini? Padahal
cuaca cerah. Seharusnya aku merasa baik-baik aja, karena hari ini adalah hari
dimana aku akan mengikuti lomba. Apakah ini pertanda aku akan kalah di
perlombaan nanti? Ataukah.... Ah, Gak usah dipikirkan deh, ini cuma perasaanku
doang mungkin karena aku belum sarapan. Aku harus optimis kalau aku pasti juara
satu.” Pikirnya dari tadi.
Tak lama ia duduk di teras tiba-tiba adiknya
datang menghampirinya untuk mengajaknya sarapan.
“Len, kata ibu cepat masuk. Sarapan udah siap. Kakak
harus bergegas untuk mengikuti lomba.”
“Iya, aku segera masuk” Kata Lena sambil berdiri
dan menuju ke ruang makan.
Di dalam ruang makan tak sedikit pokok
pembicaraannya tentang lombanya itu. Ia seakan memaksa ibunya untuk datang ke
perlombaanya.
“Bu, doakan aku ya, biar aku bisa menjadi juara di
lomba pidato nanti” Kata Lena kepada ibunya.
“Aku pasti mendoakan kamu, nak. Mana mungkin ada
orang tua yang tidak menginginkan anaknya menjadi juara.” Sahut ibu Lena.
“Bu, ibu harus datang nanti ke tampat lombaku,
karena jika aku juara, aku ingin mempersembahkan hadiahnya untuk ibu. Ibu maukan?”
Kata Lena dengan penuh semangat.
“Insya Allah, nak. Tapi ibu berpesan padamu
jikalau kamu juara nanti kamu jangan sombong.” jawab ibunya.
“iya, bu. Aku janji. Tapi ibu juga harus janji
sama saya untuk datang. Ibu harus berusaha untuk datang.” Kata Lena, kemudian
sambil meneruskan makannya. Ibunya hanya mengangguk sambil tersenyum pada Lena.
Ia kagum melihat semangat anaknya.
Setelah makan Lena bersiap-siap berangkat lomba. Lena
berangkat ke tempat lomba bersama ayah dan adiknya. Ibunya belum sempat ikut
karena harus membereskan rumah terlebih dahulu, tapi ia janji akan pergi
melihat Lena lomba.
Saat tiba di tempat lomba Lena segera mengambil
nomor urut. Ternyata nomor urut yang didapatkannya yaitu nomor 13. Beberapa
lama duduk di kursi yang telah disediakan panitia, nomor urut 13 pun dipanggil
dan dipersilahkan untuk tampil ke atas panggung. Awalnya Lena gugup namun
karena ia selalu berkata dalam hati “Aku akan jadi juara. Aku sudah janji pada
ibuku, akan ku persembahkan piala besar itu untuk ibuku. Aku harus lakukan yang
terbaik. Aku pasti bisa.” Di atas panggung Lena berpidato layaknya Barack Obama
yang berpidato di depan semua rakyatnya. Pidatonya begitu menarik dan penonton
pun asyik mendengarnya. Namun di atas panggung matanya tak henti-henti mengamati
setiap penonton ia terus mencari di mana ibunya duduk. Di tengah pengamatannya,
ia tak melihat ibunya ia hanya melihat ayah dan adiknya yang duduk kursi pojok
kana belakang. Di dalam hatinya bertanya-tanya sambil merasa jengkel “Ibuku
mana, sih? Kok nggak datang. Padahal ia sudah janji padaku.” Walaupun ia
memikirkan hal itu namun ia selalu berusaha menfokuskan diri pada pidatonya,
hingga akhirnya ia menyelesaikan pidatonya. Dan kembali ke tempat duduknya.
Setelah beberapa peserta telah tampil, hingga
akhirnya suasana menjadi hening seakan ruangan tak berpenghuni. Ternyata tiba
waktunya pengumuman juara. Detak jantung Lena terus berdetak, seiring detak jam
dinding yang ada di belakangnya. Ia merasa sangat tegang. Ia bertanya dalam
hati, “Dapatkah aku meraih juara pertama? dapatkah kupersembahkan piala besar
yang terpampan di depan sana untuk ibuku? Ya, Allah tolonglah hamba, kabulkan
doa hambamu yang lemah ini, ku ingin meraih piala itu untuk kupersembahkan
kepada ibuku”
“Dag... dig... dug....”
jantung Lena masih terus berdetak. Tiba-tiba suara dari atas panggung
terdengar, seorang panitia membacakan hasil juara pidato.
“Juara ketiga diraih oleh
nomor urut 5.”
“Juara kedua diraih oleh
nomor urut 19.”
Ketika mendengar juara di sebutkan Lena terus berpikir “Akankah aku juara
satu?”
“Dan juara pertama diraih
oleh nomor urut 12” Ucap panitia di atas panggung. Penonton pun bertepuk
tangan. Lena terdiam sejenak, mulutnya yang tadinya komat kamit berdoa
tiba-tiba terhenti. Ia merasa kecewa ternyata ia tidak dapat meraih juara satu
pun.
“Bu, maafkan aku aku tak
dapat membanggakanmu. Aku tidak dapat memersembahkan untukmu piala yang
terpampan di sana.” Ucapnya dalam hati setelah mendengar pengumuman juara itu.
Tak berapa lama seorang
panitia di atas panggung tiba-tiba berkata “Maaf, terjadi sebuah kesalahan dari
kami. Ternyata juara pertama diraih oleh nomor urut 13. Kami ucapkan selamat
untuk para pemenang serta kami persilahkan naik ke panggung untuk menerima
pialanya.”
Setelah mendengar ucapan
panitia. Lena merasa sangat bahagia, samapai-sampai butiran bening keluar dari
matanya. Kemudian ia mencari ibunya.
“Yah, ibu mana? Kok gak
datang.” Tanya Lena kepada Ayahnya.
“Kamu gak perlu memikirkan
itu dulu, naiklah di panggung pasti ibumu akan datang.” Kata ayahnya.
Setelah mendengar ayahnya berkata demikian Lena
terpaksa naik di atas panggung dengan wajah sedikit kecewa karena ibunya belum
juga datang. Namun belum sempat ia menginjakkan kakinya di atas panggung itu
tiba-tiba seorang lelaki tua datang dan berteriak dengan nafas yang
terengah-engah. “Siapa yang bernama Lena? Seorang wanita di jalan mencarinya.
Katanya Lena adalah anaknya. Ia ingin bertemu dengan Lena. Sekarang wanita itu
dibawa ke rumah sakit karena ia kecelakaan, lukanya sangat parah.”
Ketika mendengar perkataan
lelaki tua itu, raut muka Lena berubah menjadi sangat tegang dan langsung
teringat pada ibunya. Ia bingung ia harus ke rumah sakit atau menggambil
hadiahnya terlebih dahulu. Namun tanpa pikir panjang lagi Lena segera lari
keluar pintu dan menyuruh lelaki tua tadi mengantarnya ke rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit
ia segera menemui ibunya. Saat itu ibunya telah tertidur dengan tubuh dingin kaku,
dan nafasnya pun telah habis, ternyata ibunya telah tiada. Lena segera memeluk ibunya
dan meminta maaf padanya dengan tetesan air mata yang tak henti-hentinya
mengalir di pipinya.
“Ibu maafkan anakmu ini
aku belum sempat mempersembahkan padamu piala yang aku dapat. Maafkan aku, Bu.
Semua ini salahku, aku memaksamu untuk datang. Ya... Allah mengapa hal ini terjadi tepat di saat aku harus
bahagia? Mengapa Kau tak beri ibuku waktu sedikit saja untuk menemuiku? Agar
ibuku dapat menerima hadiah yang ingin kuberikan untuknya” Kata Lena sambil memeluk
ibunya yang penuh darah dengan sangat erat. Air matanya masih terus mengalir.
Sekitar setengah jam ia
terus menangis dan memeluk ibunya, ayah dan adiknya pun datang dengan membawa
piala yang diraih Lena. Lena segera mengambil piala itu dan berkata di samping
ibunya “Ibu, ini piala aku persembahkan untuk ibu. Aku masih ingat kata ibu
bahwa aku tidak boleh sombong. Aku janji akan menjadi anak yang baik dan patuh.
Aku akan menjalankan segala amanat ibu. Aku tidak akan sombong.”
@Icha_AAB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar