Jumat, 12 Oktober 2012

CERPEN "Air Mata Sang Juara"



Air Mata Sang Juara
By: Annisa Alifka Baztari
            Di pagi yang cerah. Elena Prasetia atau biasa dipanggil dengan nama Lena, sedang duduk di teras rumahnya. Ia nampaknya memikirkan sesuatu.
“Kenapa yach ada yang gak enak pagi ini? Padahal cuaca cerah. Seharusnya aku merasa baik-baik aja, karena hari ini adalah hari dimana aku akan mengikuti lomba. Apakah ini pertanda aku akan kalah di perlombaan nanti? Ataukah.... Ah, Gak usah dipikirkan deh, ini cuma perasaanku doang mungkin karena aku belum sarapan. Aku harus optimis kalau aku pasti juara satu.” Pikirnya dari tadi.
Tak lama ia duduk di teras tiba-tiba adiknya datang menghampirinya untuk mengajaknya sarapan.
“Len, kata ibu cepat masuk. Sarapan udah siap. Kakak harus bergegas untuk mengikuti lomba.”
“Iya, aku segera masuk” Kata Lena sambil berdiri dan menuju ke ruang makan.
Di dalam ruang makan tak sedikit pokok pembicaraannya tentang lombanya itu. Ia seakan memaksa ibunya untuk datang ke perlombaanya.
“Bu, doakan aku ya, biar aku bisa menjadi juara di lomba pidato nanti” Kata Lena kepada ibunya.
“Aku pasti mendoakan kamu, nak. Mana mungkin ada orang tua yang tidak menginginkan anaknya menjadi juara.” Sahut ibu Lena.
“Bu, ibu harus datang nanti ke tampat lombaku, karena jika aku juara, aku ingin mempersembahkan hadiahnya untuk ibu. Ibu maukan?” Kata Lena dengan penuh semangat.
“Insya Allah, nak. Tapi ibu berpesan padamu jikalau kamu juara nanti kamu jangan sombong.” jawab ibunya.
“iya, bu. Aku janji. Tapi ibu juga harus janji sama saya untuk datang. Ibu harus berusaha untuk datang.” Kata Lena, kemudian sambil meneruskan makannya. Ibunya hanya mengangguk sambil tersenyum pada Lena. Ia kagum melihat semangat anaknya.
Setelah makan Lena bersiap-siap berangkat lomba. Lena berangkat ke tempat lomba bersama ayah dan adiknya. Ibunya belum sempat ikut karena harus membereskan rumah terlebih dahulu, tapi ia janji akan pergi melihat Lena lomba.
Saat tiba di tempat lomba Lena segera mengambil nomor urut. Ternyata nomor urut yang didapatkannya yaitu nomor 13. Beberapa lama duduk di kursi yang telah disediakan panitia, nomor urut 13 pun dipanggil dan dipersilahkan untuk tampil ke atas panggung. Awalnya Lena gugup namun karena ia selalu berkata dalam hati “Aku akan jadi juara. Aku sudah janji pada ibuku, akan ku persembahkan piala besar itu untuk ibuku. Aku harus lakukan yang terbaik. Aku pasti bisa.” Di atas panggung Lena berpidato layaknya Barack Obama yang berpidato di depan semua rakyatnya. Pidatonya begitu menarik dan penonton pun asyik mendengarnya. Namun di atas panggung matanya tak henti-henti mengamati setiap penonton ia terus mencari di mana ibunya duduk. Di tengah pengamatannya, ia tak melihat ibunya ia hanya melihat ayah dan adiknya yang duduk kursi pojok kana belakang. Di dalam hatinya bertanya-tanya sambil merasa jengkel “Ibuku mana, sih? Kok nggak datang. Padahal ia sudah janji padaku.” Walaupun ia memikirkan hal itu namun ia selalu berusaha menfokuskan diri pada pidatonya, hingga akhirnya ia menyelesaikan pidatonya. Dan kembali ke tempat duduknya.
Setelah beberapa peserta telah tampil, hingga akhirnya suasana menjadi hening seakan ruangan tak berpenghuni. Ternyata tiba waktunya pengumuman juara. Detak jantung Lena terus berdetak, seiring detak jam dinding yang ada di belakangnya. Ia merasa sangat tegang. Ia bertanya dalam hati, “Dapatkah aku meraih juara pertama? dapatkah kupersembahkan piala besar yang terpampan di depan sana untuk ibuku? Ya, Allah tolonglah hamba, kabulkan doa hambamu yang lemah ini, ku ingin meraih piala itu untuk kupersembahkan kepada ibuku”
            “Dag... dig... dug....” jantung Lena masih terus berdetak. Tiba-tiba suara dari atas panggung terdengar, seorang panitia membacakan hasil juara pidato.
            “Juara ketiga diraih oleh nomor urut 5.”
            “Juara kedua diraih oleh nomor urut 19.”
Ketika mendengar juara di sebutkan Lena terus berpikir “Akankah aku juara satu?”
            “Dan juara pertama diraih oleh nomor urut 12” Ucap panitia di atas panggung. Penonton pun bertepuk tangan. Lena terdiam sejenak, mulutnya yang tadinya komat kamit berdoa tiba-tiba terhenti. Ia merasa kecewa ternyata ia tidak dapat meraih juara satu pun.
            “Bu, maafkan aku aku tak dapat membanggakanmu. Aku tidak dapat memersembahkan untukmu piala yang terpampan di sana.” Ucapnya dalam hati setelah mendengar pengumuman juara itu.
            Tak berapa lama seorang panitia di atas panggung tiba-tiba berkata “Maaf, terjadi sebuah kesalahan dari kami. Ternyata juara pertama diraih oleh nomor urut 13. Kami ucapkan selamat untuk para pemenang serta kami persilahkan naik ke panggung untuk menerima pialanya.”
            Setelah mendengar ucapan panitia. Lena merasa sangat bahagia, samapai-sampai butiran bening keluar dari matanya. Kemudian ia mencari ibunya.   
            “Yah, ibu mana? Kok gak datang.” Tanya Lena kepada Ayahnya.
            “Kamu gak perlu memikirkan itu dulu, naiklah di panggung pasti ibumu akan datang.” Kata ayahnya.
Setelah mendengar ayahnya berkata demikian Lena terpaksa naik di atas panggung dengan wajah sedikit kecewa karena ibunya belum juga datang. Namun belum sempat ia menginjakkan kakinya di atas panggung itu tiba-tiba seorang lelaki tua datang dan berteriak dengan nafas yang terengah-engah. “Siapa yang bernama Lena? Seorang wanita di jalan mencarinya. Katanya Lena adalah anaknya. Ia ingin bertemu dengan Lena. Sekarang wanita itu dibawa ke rumah sakit karena ia kecelakaan, lukanya sangat parah.”
            Ketika mendengar perkataan lelaki tua itu, raut muka Lena berubah menjadi sangat tegang dan langsung teringat pada ibunya. Ia bingung ia harus ke rumah sakit atau menggambil hadiahnya terlebih dahulu. Namun tanpa pikir panjang lagi Lena segera lari keluar pintu dan menyuruh lelaki tua tadi mengantarnya ke rumah sakit.
            Setibanya di rumah sakit ia segera menemui ibunya. Saat itu ibunya telah tertidur dengan tubuh dingin kaku, dan nafasnya pun telah habis, ternyata ibunya telah tiada. Lena segera memeluk ibunya dan meminta maaf padanya dengan tetesan air mata yang tak henti-hentinya mengalir di pipinya.
            “Ibu maafkan anakmu ini aku belum sempat mempersembahkan padamu piala yang aku dapat. Maafkan aku, Bu. Semua ini salahku, aku memaksamu untuk datang. Ya... Allah mengapa  hal ini terjadi tepat di saat aku harus bahagia? Mengapa Kau tak beri ibuku waktu sedikit saja untuk menemuiku? Agar ibuku dapat menerima hadiah yang ingin kuberikan untuknya” Kata Lena sambil memeluk ibunya yang penuh darah dengan sangat erat. Air matanya masih terus mengalir.
            Sekitar setengah jam ia terus menangis dan memeluk ibunya, ayah dan adiknya pun datang dengan membawa piala yang diraih Lena. Lena segera mengambil piala itu dan berkata di samping ibunya “Ibu, ini piala aku persembahkan untuk ibu. Aku masih ingat kata ibu bahwa aku tidak boleh sombong. Aku janji akan menjadi anak yang baik dan patuh. Aku akan menjalankan segala amanat ibu. Aku tidak akan sombong.”

@Icha_AAB 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar